BUMERANG

Pernahkah terlintas dalam benak anda ketika datang masa dimana seluruh badan tak bisa lagi membantu anda melakukan apapun? Dimana seluruh persendian anda lumpuh? Mulut tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata? Kehidupan yang anda hadapi hanya berkisar di tempat tidur, mendengar, melihat dan tak bisa mengomentari? Tak ada satupun orang yang ada di dunia ini menginginkan hal teresebut, tak terkecuali aku yang kini mengalaminya.
Awal mula kejadiannya adalah ketika suatu sore aku menemukan putri bungsuku membungkus beberapa macam makanan di dapur. Aku mendekatinya dan bertanya ini itu. Ia menjawab semua makanan yang ia bungkus ingin ia sedekahkan.
“Bersedekah katamu????” Tanyaku dengan murka, ia menatapku kemudian mengangguk, “Enak saja kamu ini! kamu fikir kamu ini siapa? Memangnya sudah bisa mencari uang?!!” Bentakku menarik bungkusan dari tangannya dan menaruhnya ke tempat semula. Sembari terus menggerutu, kembali kumasukkan makanan-makanan itu ke dalam kulkas yang isinya membludak dengan makanan. Putri bungsuku hanya diam melihat tingkahku. Memang aku sudah dikenalnya begitu, ia tak membangkang.
“Kalau kamu sudah merasa kaya, baru kamu boleh bersedekah!” Ujarku garang berjarak beberapa senti darinya. Ia menatapku agak gemetar dengan mata bercaka-kaca. Lantas aku berbalik hendak meninggalkannya, tapi tiba-tiba saja sekujur tubuhku terasa kaku, kepalaku berat, pandanganku tak jelas dan aku pingsan. Ketika kubuka mataku, yang kutemukan pertama kali adalah wajah putri bungsuku yang tengah menatapku. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi aku tak mampu menggerakkan mulutku. Kusadari mulutku tak lagi normal. Putri bungsuku mendekatkan wajahnya pada wajahku kala itu, dan berkata.
“Mama struk!”
Dan sejak saat itu duniaku runtuh. Tak ada hal lagi yang membuatku bahagia di dunia ini. ke delapan orang anakku berkunjung dan menungguiku hingga dokter mengizinkanku untuk pulang.
Dari sanalah semua masalah bermula. Suatu malam semua anak-anakku baik yang sudah berkeluarga ataupun yang belum berkumpul di ruang keluarga. Aku tidak diikutsertakan, tapi putri bungsuku menceritakan hasil perkumpulan itu bebrapa saat setelah perkumpulan itu selesai. Yang ketika mendengarnya membuatku benar-benar menangis dari hatiku. Mereka ingin menjual rumah yang aku tempati, dan salah satu dari mereka yang akan membawaku ke rumahnya dan aku akan di rawatnya.
“Emmm…meemmm….” Aku berusaha bertanya pada putri bungsuku, kenapa mereka melakukan itu? ia menggeleng lesu.
“Aku juga tidak tau, Ma. Kakak bilang rumah ini terlalu besar untuk kita, dan harus dijual…” Dengan miris aku menatap langit-langit kamarku. Terlalu besar??? Memang rumah ini tingkat tiga, tapi dengan kolam renang di belakang dan halaman luas di depan. Tapi mereka tidak berhak melakukan itu. aku kembali bertanya, keputusannya pada putri bungsuku.
“Semua setuju, Ma. Tapi…” Putri bungsuku menunduk, aku menunggu kelanjutan dari kalimatnya, “Tapi…tak ada yang bersedia membawa Mama ke keluarga mereka!” Ah…aku benar-benar ingin tuli saja rasanya saat itu mendengar penuturan putrid bungsuku. Dan bagaimana kerasnya aku menolak rencana itu, mereka tetap melakukannya. Mereka menjual rumahku beserta seluruh isinya seharga tiga ratus lima puluh juta. Dan di hari terakhirku di rumah dari atas korsi roda yang didorong oleh putri bungsuku, aku menatap mereka dengan marah. Arya, putra sulungku yang telah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak menghampiriku.
“Ini kami lakukan bukan untuk mendapatkan uang, Ma. Kami hanya ingin mempermudah. Ini sisa uang Mama, beberapa kami sudah pakai untuk membelikan rumah di wilayah A, dan satu dari tiga mobil Mama tidak kami jual. Itu untuk memudahkan adik bungsu mengasuh Mama. Karena kami, yang secara keseluruhan telah berkeluarga, tidak bisa mengasuh Mama!” Begitu penjelasan dari Arya. Rasanya ingin sekali aku menamparnya, tapi tak mampu kulakukan. Putri bungsuku mendorong korsi rodaku keluar rumah, hingga sedan yang dulunya tak pernah kupakai membawaku pergi dari pekarangan rumah, tak ada satupun darii mereka yang memberikan salam perpisahan. Dari mata mereka kubaca mereka sama sekali tak punya belas kasihan, bahkan pada ibu mereka sendiri.
“Jangan pernah mepnunjukkan sikap seperti itu di depan anak-anak, kamu mendidik mereka seperti itu!” Tiba-tiba saja aku ingat kata-kata suamiku dulu saat aku seringkali mengusir setiap orang yang datang meminta tolong ke rumah. Tapi aku tidak pernah menggubris. Aku jadi merinding, kulirik putri bungsuku yang mengendarai mobil, aku jadi takut ia akan melakukan hal yang sama dengan kakak-kakaknya. Apalagi selama ini, ia adalah anakku yang paling menderita kubuat. Tak pernah benar di hadapanku, kusekolahkan ia hanya karena kawajiban saja. Ia tidak kumasukkan ke sekolah favorit seperti kakak-kakaknya. Di rumah, ia kuanggap seperti pembantu. Semua pekerjaan rumah ia yang kerjakan. Perasaan tidak sukaku pada putri bungsuku karena ialah yang paling dimanja oleh Papanya, dididik dengan nuansa agama dan aku tidak suka itu.
“Sudah sampai, Ma!” Putri bungsuku menyadarkanku. Ia turunka korsi rodaku dan memapahku keatasnya. Ada peluh kulihat di keningnya. Rasa bersalah mulai merasuk ke hatiku. Ia menoleh padaku kemudian tersenyum, begitu tulus. Ah, Tuhan… diakah ini???
***
Tengah malam aku terjaga, suara jangkrik dan sunyi malam menyapa telingaku. Samar-samar kurasakan ada seseorang di samping ranjang. Aku berusaha melihat, dan aku menemukan putri bungsuku tengah berdo’a diatas sajadah dengan air mata berurai. Tak lama ia menyadari kesadaranku. Ia menghapus air matanya dan mendekatiku. Ia mengecup keningku.
“Semoga Allah menjaga Mama!” Do’anya. Aku tertegun, air mataku tiba-tiba saja mengalir. Betapa mutiara ini telah aku semena-menakan. Aku menatap wajah cantiknya yang sangat mirip dengan alm. Papanya terbalut mukenah putih. Teringat kembali olehku, tentang seluruh jilbab yang baru ia beli kubakar dulu. Karena aku tidak suka melihatnya memakai jilbab. Risih!
Sekarang, hanya ialah yang menemani hari-hari bisuku. Hanya ia yang merawatku sampai titik terlelahnya tercapai, hanya ia yang menjagaku, memenuhi keinginanku tanpa mengeluh. Hanya dia…
***
Hari ini, tepat setahun setelah aku mengalami semua ini aku duduk di korsi rodaku menghadap ke langit jingga yang beranjak kelam. Kudengar kesibukan di dapur, itu putri bungsuku.
Ia bernama Mina, tapi selalu kami panggil bungsu. Wajah cantiknya sangat mirip dengan Papanya, begitupun kesabaran, ketulusan dan keikhlasannya. Sekarang ia berumur 25 tahun, sudah resmi berjilbab sejak kepindahan kami disini. Pekerjaannya sebenarnya sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan swasta. Tapi karena penyakitku, ia mengundurkan diri dan seringkali menyibukkan diri dengann menulis di rumah.
Karenanya ekonomi kami tercukupi. Aku tidak pernah merasa kekurangan, meski tidak pernah lebih dari cukup. Ialah yang membawaku kembali ke jalan Allah, dan sekarangpun aku sudah berjilbab.
“Ma!” Ia tiba-tiba sudah ada di belakangku, “Sebentar lagi maghrib!” Ujarnya. Aku mengangguk dan ia mendorong kursi rodaku memasuki rumah, lantas membantuku berwudhu dan mempersiapkan shalat bersama. Setelah semua siap, kami berjamaah dengan ia sebagai imam. Usai shalat, setelah beberapa kali bezikir dan diusaikan dengan do’a, Mina membalik tubuhnya dan mencium tanganku juga kedua pipiku.
“Ma…ada yang mau aku beritahu!” Ujarnya menatap mataku. Aku berkedip sekali, dan ia paham maksudku. Ia kemudian menghembuskan nafas dalam. “Ada seseorang yang melamarku…!” Ia berucap sembari menunduk, dadaku bergetar. Aku ingin tersenyum. “Ia akan kemari besok, bagaimana menurut Mama?” Tanyanya kembali menatapku. Aku berusaha tersenyum. Ia lantas memelukku.
Esoknya ternyata benar, sebuah mobil BMW terparkir di halaman rumah kami yang tak begitu luas. Mina menyambut lelaki yang terlihat dewasa dan aku diam di kamar, tak bersedia memenuhi permintaan Mina untuk menemaninya.
***
Usai maghrib, Mina kembali menghadapku dengan sedikit lelah di matanya. Kali ini ia akan bercerita tentang lelaki yang pagi tadi datang. Aku menatap matanya, menuntut sebuah kejujuran. Ia tersenyum, kemudian menggerakkan kepalanya, sebuah gelengan.
“Dia seorang pengusaha sukses, memiliki beberapa buah rumah. Sangat kaya. Ia menjanjikan berbagai macam hal, ia juga sepertinya imam yang baik.” Mina berhenti sejenak, kutatap ia dengan sebuah senyuman, “Tapi ia tidak bisa membawa Mama serta, itu yang aku tidak bisa terima!” Ia melanjutkan aku terdiam, cukup lama. Aku berusaha mengucapkan beberapa hal. Aku rela ia titip di Panti Jompo, aku ingin Mina menemukan kebahagiaannya setelah selama ini merawatku. Ia meraih tanganku, kemudian ia menangis.
“Kekayaan itu bukan kebahagiaan, Ma. Wajah bukan jaminan, rumah tak selamanya berdiri… aku sudah sangat kaya hanya dengan Mama!” Ujarnya. Kali ini, kurasakan duniaku tersenyum, terenyuh, dan akupun menangis.
Aku juga sudah sangat kaya denganmu, Bungsu.

Categories: Karya Santri
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment